Imunoterapi Pertama untuk Pasien Kanker Hati Disetujui BPOM, Era Baru untuk Tingkatkan Harapan Hidup Pasien

M-ID-00000319-09-2021

  • Imunoterapi Atezolizumab dengan kombinasi bevacizumab adalah imunoterapi pertama yang disetujui untuk pengobatan pasien kanker hati tipe karsinoma sel hati stadium lanjut atau yang tidak dapat dioperasi dan belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya.

  • Surveilans kanker hati khususnya pada pasien berisiko tinggi secara rutin merupakan langkah penting dalam meningkatkan harapan hidup pasien. Pemeriksaan rutin dengan teknologi pemeriksaan terbaru PIVKA II dapat membantu mendiagnosis kanker hati secara lebih sensitif dan spesifik. Interpretasi PIVKA II harus dilakukan bersamaan dengan metode- metode lainnya dalam diagnosis kanker sesuai dengan panduan tatanan klinis.

  • Kerjasama para pemangku kepentingan sangat mendesak agar pasien bisa mendapatkan akses terhadap penatalaksanaan kanker hati dimulai sejak deteksi dini hingga terapi yang tepat

 

Jakarta, 28 September 2021 - Obat imunoterapi atezolizumab dengan kombinasi bevacizumab telah mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk pengobatan pasien kanker hati tipe karsinoma sel hati stadium lanjut atau yang tidak dapat dioperasi dan belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya. Persetujuan BPOM untuk imunoterapi pertama pada terapi kanker hati ini menandai era baru pengobatan kanker hati yang merupakan penyakit yang berkembang cepat.

 

Dengan jumlah kasus yang mencapai 21.392 orang1 pada tahun 2020, kanker hati adalah salah satu kanker yang paling tinggi menyebabkan kematian di Indonesia. Kanker hati juga merupakan penyebab kematian karena kanker peringkat ke-4 di Indonesia dengan angka prevalensi 5 tahun sebesar 22.530 kasus1. Karsinoma sel hati (hepatoselular karsinoma/HCC) merupakan salah satu tipe kanker hati utama yang paling umum dengan prognosis (perjalanan penyakit) yang sangat buruk. Di dunia, terdapat sekitar 750.000 orang per tahunnya terdiagnosis karsinoma sel hati (HCC)2,3 dan umumnya sudah pada stadium lanjut4. Di Indonesia, insiden karsinoma sel hati terjadi pada 13,4 per 100.000 penduduk5.

 

“Penyakit kanker menjadi beban masyarakat dunia. Oleh sebab itu Kementerian Kesehatan menjadikan kanker sebagai prioritas dalam rencana strategis. Menangani kanker harus komprehensif, melibatkan berbagai sektor dan pihak dengan pendekatan multidisiplin dan kolaborasi interprofesional, dengan fokus pada pasien. Peran organisasi peduli pasien dan swasta sebagaimana yang dilakukan oleh Roche Indonesia yang telah banyak berkiprah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kanker, mengembangkan solusi pengobatan dan diagnostik dan mengupayakan akses bagi pasien sangatlah penting,” demikian sambutan Prof. dr. Abdul Kadir, PhD, Sp.THT-KL (K), MARS - Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, yang disampaikan oleh dr. Else Mutiara Sihotang, Sp.PK, Kasubdit RS Pendidikan Kementerian Kesehatan.

 

Publikasi yang dilakukan secara  retrospektif pada dua rumah sakit tersier (Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Nasional Kanker Dharmais), antara Januari 2015 hingga November 2017 tercatat tingkat kematian pasien karsinoma sel hati sebesar 48,2% dimana diantaranya terdapat 23,4% pasien meninggal dalam rentang waktu 6 bulan setelah terdiagnosis6. Salah satu penyebab tingginya tingkat mortalitas ini adalah terlambatnya diagnosis, sehingga sebagian besar pasien datang sudah dalam kondisi stadium lanjut. Tidak hanya itu, meskipun angka kejadian karsinoma sel hati tinggi, pasien dengan penyakit ini hanya memiliki pilihan yang terbatas untuk pengobatan yang berdampak pada tingkat kematian yang tinggi.

 

“Sebagian besar pasien karsinoma sel hati di Indonesia datang ketika sudah masuk stadium lanjut, sementara pilihan pengobatan yang ada sangat terbatas. Data menunjukkan selama 15 tahun (1998 - 1999 dibandingkan dengan 2013 - 2014) tidak ada perubahan angka kesintasan yang signifikan untuk pasien kanker hati. Pasien saat ini terus berharap akan adanya pengobatan transformatif yang bisa meningkatkan harapan hidupnya,” jelas DR. dr. Irsan Hasan, SpPD-KGEH, FINASIM, yang merupakan seorang dokter spesialis gastroenterohepatologi. “Dengan disetujuinya obat imunoterapi atezolizumab dengan kombinasi bevacizumab sebagai imunoterapi pertama untuk pengobatan pasien kanker hati tipe karsinoma sel hati stadium lanjut, diharapkan adanya perbaikan kesintasan pasien kanker hati yang lebih tinggi. Kami sangat berharap agar pengobatan baru ini dapat menjangkau pasien yang membutuhkan sehingga kita dapat menekan angka kematian akibat kanker hati,” lanjutnya.

 

Obat imunoterapi kanker bekerja dengan cara membantu sistem imun di tubuh manusia untuk secara spesifik membunuh sel kanker. Studi klinis menunjukkan penggunaan Atezolizumab yang dikombinasikan dengan Bevacizumab meningkatkan angka kesintasan hingga 19,2 bulan atau 34% lebih tinggi dibandingkan dengan pengobatan standar7 dan mencegah perburukan penyakit hingga 6,9 bulan atau perbaikan hasil pengobatan hingga 35% dibandingkan dengan pengobatan standar yang ada saat ini8. Selain memperoleh kesempatan harapan hidup yang baik, pasien dapat juga menjalani hidup yang lebih berkualitas dengan profil keamanan obat yang dapat ditoleransi dengan baik8.

 

“Selama 125 tahun keberadaan kami di dunia dan 50 tahun di Indonesia, Roche memiliki sejarah menjelajahi bidang ilmiah baru, bidang penyakit baru dan teknologi baru, dan mengembangkan obat yang dapat mengubah hidup pasien. Namun, terobosan dalam ilmu kedokteran hanya memiliki arti bila dapat mencapai pasien-pasien yang membutuhkannya,” kata Dr. Ait-Allah Mejri, Presiden Direktur Roche Indonesia. “Kanker adalah masalah kita bersama. Karena itu, Roche terus mengajak semua kalangan, mulai dari praktisi kedokteran, akademisi, media, pemerintah, dan masyarakat untuk dapat bekerja sama dalam menyediakan akses yang lebih luas terhadap diagnosis dan pengobatan kanker yang berkualitas untuk pasien, baik di sektor swasta, maupun di sektor publik melalui Jaminan Kesehatan Nasional,” tutup Dr. Mejri.

 

Ibu Evy Rachmad (68 tahun), yang merupakan pasien kanker hati menyampaikan harapannya, “Sebagai pasien kanker hati, saya sangat berharap pengobatan kanker hati dapat ditanggung oleh pemerintah, termasuk obat-obatan yang terbaru seperti imunoterapi kanker ini. Selama ini semua biaya pengobatan saya tanggung sendiri dan tidak masuk dalam BPJS. Saya juga berharap agar bisa mendapatkan informasi yang lengkap, baik tentang pentingnya memeriksa risiko kanker hati secara rutin, apa saja tahapan penyakit saya dan apa saja pengobatan yang ada sehingga kami sebagai pasien jelas tentang penanganan kanker hati yang kami alami,” ungkap Evy Rachmad, pasien kanker hati yang juga anggota komunitas CISC (Cancer Information and Support Center).

 

Deteksi dini juga menjadi kunci dalam perbaikan kesintasan pasien kanker hati. Untuk itu, pemeriksaan rutin pada pasien yang memiliki risiko tinggi seperti pasien hepatitis B dan C harus menjadi perhatian. Hal ini yang dialami oleh Ibu Erla Watiningsih, dimana suaminya telah meninggal dalam jangka waktu setahun setelah terdiagnosis kanker hati. “Pembelajaran yang saya dapatkan adalah penting sekali melakukan pemeriksaan rutin untuk pasien dengan risiko tinggi kanker hati, diantaranya hepatitis B. Harapan saya adalah terbentuknya sinergi antara berbagai pihak baik pemerintah, dokter, rumah sakit maupun komunitas untuk peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai deteksi dini kanker hati,” ujar ibu Erla Watiningsih yang juga merupakan pendiri Komunitas Peduli Hepatitis.

 

“Semakin cepat dideteksi, maka akan semakin cepat mendapatkan penanganan yang tepat. Sehingga, prognosa kanker hati juga akan semakin baik. Karena itu, masyarakat yang berisiko harus rutin melakukan tes atau kita sebut surveilans untuk mendeteksi kanker hati. Dengan perkembangan kemajuan teknologi kesehatan, hasil pemeriksaan bagi pasien juga kini dapat lebih akurat dalam bantuan diagnosis kanker hati yaitu dengan tes terkini, PIVKA II. Kadar PIVKA II di atas nilai normal dapat menjadi penanda yang lebih baik dalam surveilans untuk menyarankan pasien mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.” jelas Dr. dr. Agus Susanto Kosasih, Sp.PK(K), MARS yang merupakan seorang dokter spesialis patologi klinik.

 

PIVKA II adalah biomarker yang dapat digunakan dalam surveilans rutin pada populasi berisiko tinggi yaitu pada pasien dengan kelainan hati. Kadar PIVKA II diatas nilai normal dapat menjadi penanda dalam surveilans untuk menyarankan pasien mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. PIVKA II lebih sensitif dalam mendiagnosis kanker hati, terutama bila dikombinasikan dengan Tes darah untuk alfa-fetoprotein (AFP). Studi menunjukan kombinasi PIVKA II + AFP memberikan akurasi diagnostik yang lebih baik dan dapat mendeteksi lebih banyak pasien kanker hati pada pasien hepatitis B & C. Peningkatan kadar PIVKA II berkorelasi baik dengan stadium penyakit, terlepas dari ukuran tumor, kelompok etnis pasien, atau etiologi kanker hati. Dalam interpretasi hasil PIVKA II, pemeriksaan lainnya dalam tatanan klinis tetap perlu dilakukan seperti CT-Scan dan MRI atau jika dibutuhkan adalah biopsi untuk memberikan diagnosis yang tepat bagi pasien. Pemeriksaan PIVKA II dilakukan dengan menggunakan sampel darah dan dikerjakan metode ECLIA di laboratorium Patologi Klinik.

Roche adalah perusahaan perintis di bidang farmasi dan diagnostik di dunia, dengan fokus pada pengembangan  sains untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Kombinasi kekuatan di bidang farmasi dan diagnostik di bawah satu  perusahaan telah menjadikan Roche sebagai salah satu perusahaan yang terdepan dalam hal personalised  healthcare - yaitu sebuah strategi yang bertujuan untuk memberikan solusi pengobatan yang tepat bagi setiap  pasien. Roche merupakan perusahaan bioteknologi terbesar di dunia, yang memiliki pengobatan mutakhir di bidang  onkologi, imunologi, penyakit menular, serta penyakit mata dan sistem saraf. Roche juga merupakan perusahaan  yang terdepan untuk diagnostik in-vitro, diagnosis kanker berbasis jaringan, dan perintis dalam penatalaksanaan diabetes.

Didirikan pada tahun 1896, Roche terus mencari cara yang lebih baik untuk mencegah, mendiagnosis, dan menangani  berbagai penyakit, serta memberikan kontribusi yang berkesinambungan untuk kesehatan dunia. Lebih dari 30 obat  yang dikembangkan oleh Roche termasuk dalam Daftar Model Obat Esensial World Health Organization (WHO), di antaranya antibiotik, antimalaria, dan obat kanker. Selama sebelas tahun berturut-turut, Roche mendapat  penghargaan sebagai salah satu perusahaan paling berkelanjutan di industri farmasi oleh Dow Jones Sustainability  Indices (DJSI).

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi  | 

Kontak Kami

Reference

  1. WHO: Globocan 2020 – Indonesia factsheet. Tersedia Diakses 27 September 2021

  2. WHO: Globocan 2018 – Liver cancer factsheet. Tersedia di: Diakses 24 Juli 2019

  3. Llovet J, et al. Hepatocellular carcinoma. Nat Rev Dis Primers. 2016;2:16018

  4. Dimitroulis D et al. From diagnosis to treatment of hepatocellular carcinoma: An epidemic problem for both developed and developing world. World J Gastroenterol. 2017;23(29):5282-5294

  5. Omata M et al. Hepatol Int. 2017;11(4):317-370

  6. Jasirwan COM et al. DOI: 10.21767/2254-6081.100191

  7. Finn et al. Journal of Clinical Oncology 2021 39:3_suppl, 267-267

  8. Finn et al. N Engl J Med 2020

Kontak KamiWorldwidelinkedinfacebooktwitterinstagramyoutubeTentang KamiFarmasiKarirMediaArtikelKebijakan privasiPernyataan hukum