NPM-ID-0366-08-2019

Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan pada Proceedings of the National Academies of Sciences di tahun 1993 dijelaskan bagaimana penyuntikan sel melanoma yang sudah dimodifikasi secara genetik dan diperlemah pada tikus percobaan dapat menghasilkan faktor-faktor yang bisa merangsang imunitas dan memberikan perlindungan terhadap pertumbuhan melanoma, yaitu jenis kanker kulit yang paling mematikan.

Berpuluh-puluh tahun para peneliti terus mencoba menemukan perawatan baru untuk kanker dengan fokus pada aspek-aspek abnormal sel, termasuk menganalisa pertumbuhan sel ganas yang sangat cepat berkembang maupun mutasi genetik yang membedakan sel kanker dari sel normal. Saat ini para peneliti mencoba untuk meningkatkan efisiensi dari sebuah proses normal, yakni pengenalan dan penghancuran sel kanker oleh sistem kekebalan tubuh (sistem imun).

Pada tahun 1890-an, seorang ahli bedah asal New York, William Coley, mulai menyuntik pasiennya dengan bakteri untuk menyembuhkan kanker. Suntikan yang dijuluki toksin Coley (Coley’s toxin)1 ini menjadi bukti awal bahwa perangsangan sistem imun bisa membuat tumor mengecil atau hilang.

Sayangnya temuan Coley tidak dapat direplikasi oleh para ahli lainnya. Tak lama kemudian penemuan radioterapi dan kemoterapi mengalami kemajuan pesat. Namun terdapat kelemahan di dalamnya, selain membunuh sel kanker, metode ini juga merusak sebagian dari sel-sel normal dan menyebabkan efek samping yang merugikan.

Pendekatan yang lebih baru dalam melawan kanker berfokus pada mutasi genetik yang menjadi penyebab pertumbuhan sel abnormal. Terapi target, misalnya dengan obat antibodi monoklonal, dapat mengikat protein di permukaan sel kanker yang sering muncul akibat adanya mutasi. Tetapi kanker sangat pintar beradaptasi sehingga meskipun sebagian besar sel ganas telah dihancurkan, masih ada kemungkinan sebagian sel berevolusi dan mengembangkan pertahanan. Penemuan imunoterapi datang dari adanya kesadaran bahwa sistem imun sanggup untuk berevolusi hingga mampu melawan musuh yang sangat rumit dan bervariasi.

Tidak hanya mengenali satu protein abnormal saja, sistem imun biasanya dapat mengenali berbagai protein. Oleh karena itu lebih sulit bagi sel kanker untuk lolos dari pendeteksian dan penghancuran. Sistem imun juga mampu mengembangkan sel-sel memori, yang dapat mendeteksi dan menghancurkan sel kanker jika tumor kembali tumbuh, bahkan setelah bertahun-tahun setelah terapi awal dihentikan.

Sistem imun pada orang sehat selalu mengenali dan menghancurkan sel yang sudah bermutasi. Tetapi, entah mengapa, sistem pertahanan alami ini kadang gagal. Apabila ini terjadi, sel kanker bisa berkembang. Tujuan dari imunoterapi adalah untuk memperkuat dan mengembalikan kemampuan sistem imun dalam menjalankan fungsinya.

Sebagian sel kanker menghasilkan protein yang disebut “checkpoint” pada permukaan sel yang bisa membuat sel T tidak dapat mengenali dan melawan sel kanker. Sekitar 10 tahun lalu uji klinis obat “checkpoint inhibitor” mulai menunjukkan hasil positif dimana checkpoint inhibitor bekerja untuk menghalangi pengikatan protein tertentu, seperti PD-L1, sehingga memungkinkan sel T untuk mengenali dan menyerang sel kanker.

Fokus di dalam komponen utama strategi riset dan pengembangan di Roche mengembangkan ide pembagian fenotipe sistem imun, tergantung dari responsnya terhadap imun, yakni immune desert, immune excluded tumor, dan inflamed tumor.

Kondisi dimana sama sekali tidak ada respons imun. Pasukan sel T tidak ada di area tumor, dan tumor tidak diserang.

Kondisi dimana respons imun ada tetapi tidak efektif. Pasukan sel T terkumpul di area tumor tetapi tidak bisa melewati pertahanan. Bayangkan seperti pasukan tentara tidak bisa memanjat tembok atau melewati parit benteng untuk menyerang secara efektif.

Kondisi dimana pasukan sel T sudah berada di dalam tumor, tetapi karena suatu alasan tidak bisa menghancurkannya. Respons imun terlihat aktif. Pasukan sel T telah berkembang, berkumpul, dan siap menyerang. Tetapi masih ada suatu faktor penghalang yang mencegah pasukan sel T menghancurkan seluruh sel-sel kanker.

 Respons sistem imun terhadap kanker yang rumit telah dirangkum menjadi siklus imunitas kanker. Siklus ini digunakan sebagai kerangka berpikir untuk riset imunoterapi kanker di seluruh dunia.2 Siklus imunitas kanker menjabarkan apa yang perlu terjadi agar respons imun berhasil melawan kanker serta membantu menentukan kombinasi yang tepat dari berbagai imunoterapi yang bisa berhasil pada seorang pasien.

 Obat-obatan baru yang menargetkan masing-masing tahapan dalam siklus imunitas kanker sedang dikembangkan. Salah satu pendekatan yang dikembangkan untuk pasien dengan immune desert adalah dengan membuat sel-sel imun yang bisa mengenali tumor dengan memakai vaksin kanker yang sudah dikhususkan bagi pasien tersebut. Obat-obatan lain  yang akan datang memiliki fungsi merangsang daya infiltrasi sel T ke dalam tumor, atau memperkuat sel-sel T yang ada sehingga bisa terus bekerja dan menuntaskan pembasmian sel-sel kanker, yang mana cara ini bisa efektif untuk fenotipe immune excluded tumor dan inflamed tumor.

Para pakar sadar bahwa imunoterapi yang efektif akan memerlukan pendekatan berganda. Hal ini berarti imunoterapi yang sukses di masa depan kemungkinan adalah kombinasi dari beberapa perawatan, seperti radioterapi, kemoterapi, dan obat-obatan terapi target atau imunoterapi lainnya, dan kesemuanya harus disesuaikan dengan keadaan biologis pasien. Tujuan akhirnya adalah menyusun regimen obat-obatan yang secara khusus untuk setiap pasien atau dikenal sebagai personalized cancer immunotherapy, agar dapat membuat sistem imun berfungsi sebagaimana mestinya dan menghancurkan musuh dalam tubuh.

Referensi

  1. Cancer Research UK. What is Coley’s toxins treatment for cancer?

  2. Chen DS and Mellman I. Oncology meets immunology: The Cancer-Immunity Cycle. Immunity 2013; 39(1): 1–10. Diakses September 2017.