Sistem imun manusia adalah mesin penghancur yang akurat untuk mengenali dan membasmi apapun yang dianggap ‘asing” di dalam tubuh, seperti virus, bakteri, bahkan sel tubuh yang sudah bermutasi. Sistem ini rumit, hasil trial-and-error sepanjang sejarah genetika, dengan tingkat keberhasilan 99,9999%. Namun, masih terdapat risiko kegagalan sebanyak 0,0001%.

Terjadinya kanker ada di 0,0001% itu, satu sel yang bermutasi menjadi berbahaya namun gagal dikenali dan dibunuh oleh sistem imun. Nyatanya, kanker memakai semacam kamuflase untuk mengelabui sistem imun sehingga terlihat seperti sel normal. Imunoterapi kanker berupaya menguak kamuflase itu agar sistem imun bisa dengan efektif mengenali, menargetkan, dan membasmi sel-sel yang telah bermutasi sebelum sel-sel itu menghancurkan kita.

Meskipun imunoterapi adalah senjata terbaru dalam perang melawan penyakit kanker, namun konsepnya telah ada sejak awal 1900an. Penerapan kekuatan sistem imun terhadap kanker berpotensi menghasilkan terapi yang efektif dan tahan lama dalam jangka panjang, bahkan diharapkan di masa depan, tumor cukup diberikan vaksinasi lalu dilawan oleh tubuh pasien sendiri layaknya luka kecil atau flu.

Selama puluhan tahun, para pakar imunologi telah membuktikan kemampuan sistem imun untuk mengenali dan membunuh sel kanker di laboratorium. Masalahnya, hasil yang sama sulit didapatkan ketika diterapkan dalam tubuh pasien. Keadaan ini mulai bergeser seiring para peneliti semakin memahami prinsip biologis dari sistem imun, dan juga berfokus pada beberapa faktor dalam tumor microenvironment. Salah satu hasil penelitian yang penting adalah ditemukannya protein PD-L1, yang merupakan faktor penghalang sistem imun untuk mengenali sel kanker.